Senin, 08 Juni 2009






The Tree (Pohon)

Mataku memandang tak berkedip pada monitor yang memberitahu denyut jantung ayah. Begitu lemah, selemah alunan naik turun dadanya. Tanganku memeluk bahu tangannya yang kurus pucat tak berdaya sementara ia tertidur dan bayangannya semakin mengabur di mataku. Sebuah tangan yang kuat menyentuh bahuku lembut membuat mulutku mengeluarkan napas yang tertahan sesak di dada. Itu suamiku yang datang, bersama dengan putri kami yang sedang tertidur pulas di gendongannya. Beberapa minggu berpisah di saat-saat seperti ini membuatku begitu merindukan mereka. Aku berdiri lalu menyandarkan kepalaku di dadanya dan ia memelukku hangat dengan satu tangan. Mataku yang mengabur menyisakan dua buah tanda air pada jas perjalanannya. Aku berusaha keras untuk tidak meraung saat itu juga.
Malam ini saudara-saudaraku yang lain akan menggantikanku untuk menjaga ayah. Hatiku begitu berat, aku tak ingin pergi sementara tidak tahu apa yang bisa terjadi.
“Semuanya akan baik-baik saja”, kata abangku dan ku harap ia benar.
Semoga jantung ayah akan bertahan sekali lagi malam ini bathinku saat menyentuh bahu adikku untuk mengucapkan selamat malam sebelum pulang yang ia balas dengan tatapan mata tenang. Aku selalu iri dengannya yang selalu bisa menyembunyikan dengan baik perasaannya. Bahkan saat ibuku pergi dan kami semua diliputi dengan rundungan duka, adikku menampakkan wajah tenang paling menyakitkan yang pernah ku lihat. Orang bilang yang seperti inilah yang justru menyimpan sakit paling dalam. Perasaannya pasti tidak jauh berbeda dengan yang kami rasakan, namun saat itu aku muak melihatnya nampak tegar. Berpaling sekali lagi sebelum meninggalkan ruangan dengan si kecil yang kini di lenganku. Rasanya tenang mengetahui ada seseorang yang kau cintai yang bisa dipeluk ketika hatimu sedang kalut.
Kami sampai di rumah keluargaku dan malah ku biarkan ayah dari seorang putri ini yang membuatkanku kopi meskipun ia baru datang dari Turki. Butuh sedikit lama baginya mencari-cari posisi tempat kopi dan gula karena aku sama sekali tak berniat bicara. Ia lalu duduk termenung setelah meletakkan cangkir kopi di hadapanku sambil memandang istrinya yang kusut masai. Tak berucap sepatah katapun semenjak kami bertemu di rumah sakit hingga akhirnya kami duduk di meja makan pada dapur yang sepi hingga berjam-jam kemudian. Ini adalah serangan kedua terhadap jantung ayah setelah serangan terakhir terjadi awal tahun kira-kira delapan bulan yang lalu. Dokter bilang kondisinya sangat kritis sampai-sampai aku tak ingin mendengar atau mengingat kata-kata itu. Kini mataku menerawang memandang dapur yang aku dan ayah mulai renovasi bersama setahun sebelum aku menikah. Persis sekali seperti dapur idaman yang selalu aku inginkan. Bernuansa kayu dari dinding hingga furniturnya. Menimbulkan kesan hangat bagi siapapun yang pernah masuk ke dapur ini. Saat aku dan suamiku menikah, kami menanggung semua biaya pernikahan sendiri. Aku selalu menginginkan pernikahan yang melegakan semua orang. Karena itu kami berdua menyiapkan pernikahan ini cukup lama di samping karena pekerjaan yang banyak menyita waktu. Keluarga di kedua belah pihak sama sekali tidak mengeluarkan biaya sepeserpun. Pernikahan kami dilakukan sederhana dengan undangan kerabat dan teman-teman dekat. Ayah tahu aku selalu memimpikan memiliki dapur indah di rumah maka ia menjadikan renovasi dapur ini sebagai hadiah pernikahan sebagai ganti biaya yang tidak ia keluarkan untukku meskipun pada akhirnya aku hanya bisa melihat dapur ini sesekali saat aku kembali. Renovasinya selesai tepat dua minggu sebelum hari H. Di hari-hari biasa hanya ada sebuah meja makan kecil bundar dengan empat kursi disini. Hingga waktunya kami berkumpul saat hari raya, buka puasa, reuni keluarga, ataupun sekedar makan bersama maka di keluarkan sebuah meja panjang dengan lebih dari duabelas kursi untuk menampung jumlah anggota keluarga kami yang semakin membesar dari waktu ke waktu. Cengkraman hangat tangan Ismail di punggung tanganku membuatku tengadah. Suamiku yang tenang ini kemudian menggeser kursinya semakin dekat kepadaku sebelum memeluk sekali lagi. Dan tak ingin membangunkan putri kami, aku menangis pelan menumpahkan kesedihan. Bersyukur ia menguatkanku tanpa bicara sedikitpun.
Malam itu aku tidur sembari memeluk erat Jeena. Adikku datang paginya dengan kabar yang sedikit menenangkan saat aku sedang membuatkan sarapan untuk keluarga kecilku. Berkata bahwa ada sedikit kemajuan dengan perkembangan kondisi ayah yang berarti operasi untuk menyelamatkan hidupnya akan dapat semakin cepat dilakukan.
“Kamu tidak perlu kesana dulu siang ini”, tambahnya. “Terlalu banyak yang menunggu membuat sesak ruangan. Lagipula kamu butuh istirahat dan menemani mereka berdua yang sudah jauh-jauh datang”.
Jadilah kami bertiga duduk-duduk di depan rumah yang rindang dengan berbagai pohon buah yang ditanam ayah. Sebuah pohon menarik perhatian kami di tanah seberang halaman rumah yang tak berpagar. Pohon itu besar dan rindang, letaknya dekat tikungan jalan. Ada sebuah ayunan tergantung di dahannya dan bangku kayu sederhana tempat kami sering menghabiskan waktu-waktu berkualitas kami bersama ayah di bawahnya. Di hari-hari yang begitu panas, makan buah bersama, minum limun, bercanda, mengobrol dan curhat tentang apa saja, bermain, hingga menuliskan nama-nama kami di batangnya. Pohon ketapang tua yang kenangannya tumbuh bersama kami dan ku harap tumbuh bersama putriku juga. Bahkan sampai sekarang anak-anak sekitar juga sering bermain di bawahnya. Ia pasti juga punya arti bagi mereka. Pohon itu begitu gagah, berdiri tegak sekaligus anggun dengan cabang-cabang kuat ke segala arah selayaknya tangan-tangan perkasa yang akan menjaga kami setiap saat. Daun-daunnya yang lebar sering dijadikan anak-anak topi-topian, berwarna hijau di musim hujan dan oranye kemerahan di musim panas. Bertahun-tahun pohon itu menjadi bayangan imaginasiku tentang warna musim gugur di negara empat musim yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Indah sekali. Bahkan saat musim gugur datang di Anatolia sekalipun pikiranku dipenuhi oleh bayangan pohon ini. Mungkin karena ia mengingatkanku pada sosok kuat dan tegar ayah, mungkin juga aku menganggapnya sebagai manifestasi ayah. Pada pohon ku lihat sifat melindungi dan menenangkan seperti yang selalu ayah lakukan pada keluarganya. Kedengarannya terlalu romantis, tapi begitulah adanya. Putriku menunjukkan lesung pipi cantiknya saat ia mendengarkan penuh antusiasme pada ceritaku. Ia persis sekali seperti ibu dengan satu lesung pipi di sebelah kiri, gigi kecil-kecil, dan rambut bergelombang. Hanya saja ia berkulit putih dan mata besar yang tak biasa bagi seorang gadis indo yang tak mirip ayahnya. Sering aku menatap gadis kecilku lekat saat ia tertawa hanya untuk mengenal senyum manis siapa yang telah ia curi ini.
Ia dan suamiku tersenyum penuh kerinduan saat aku bercerita tentang satu pohon petai china di belakang rumah kami yang dulu sering aku ajak bicara dan kini sudah tidak ada. Saat kuliah aku tinggal jauh dari rumah dan hanya pulang dua minggu sekali. Suatu hari aku memeluk pohon itu sambil berkata kapan aku akan bertemu dengannya lagi karena dua minggu terasa begitu lama untukku meninggalkan rumah. Namun dua minggu kemudian saat aku pulang, aku tidak menemuinya berdiri menjulang di belakang rumah. Aku bertanya pada ibuku tentang apa yang terjadi. Ibuku berkata bahwa seminggu lalu saat hujan deras hebat datang, pohon itu disambar petir dan tumbang. Aku kehilangan salah satu sahabat terbaik yang telah bersamaku selama sepuluh tahun. Harus ku katakan bahwa terkadang aku bicara pada pohon itu dengan hati yang aku yakin ia bisa mendengarnya. Kini ku katakan pada putriku, bahwa ibunya ini mencintai segala hal yang berkaitan dengan setiap kenangan indah masa kecilnya. Aku menunjukkan padanya foto-foto kami sekeluarga bersama pohon itu. Saat aku dan saudara-saudaraku masih anak-anak, remaja, hingga dewasa. Ada pula foto-foto para keponakanku dan beberapa sepupu. Ayah menanam banyak pohon termasuk pohon ketapang itu untuk menaungi jalan sekaligus mengurangi erosi karena rumah kami terletak di bukit kecil yang tanahnya miring, hingga saat hujan datang, ia sering membawa tanah bersama aliran airnya. Ayahku begitu mencintai tanaman terutama pohon dan syukurnya ia menularkan hal ini pada anak-anaknya.
Pernah suatu hari ada sekelompok orang datang lalu menebangi beberapa pohon akasia besar yang letaknya di atas lahan milik orang lain di belakang rumah kami dengan gergaji mesin besar yang ribut. Ayah memandangi aksi itu tanpa henti dengan menggeleng-gelengkan kepala. Ia terus bertanya-tanya tak percaya.
“Kenapa orang-orang itu suka sekali menebang pohon di tempat di mana sudah jarang pohon? Perlu bertahun-tahun bagi pohon-pohon itu untuk tumbuh besar dan rindang. Sayang sekali ada orang yang tidak suka kehijauan dan juga pohon. Sayang sekali mereka bersikap seperti itu kepada alam. Sayang sekali”, komentar ayah waktu itu.
Aku berpikir mungkin si pemilik tanah yang menyuruh mereka melakukannya, tapi ayah berkata bahwa menurut tetangga kami orang-orang itu memang menebang pohon-pohon di lahan-lahan kosong seperti yang mereka kerjakan di dekat lahan pertaniannya. Ayah, aku, dan adik laki-lakiku sedih melihat pohon itu pergi dan berakhir di atas truk pengangkutan. Aku dan ayah nanar mengantarkannya menjauh saat truk itu melewati depan rumah kami. Sejak hari itu langit, awan, tanah, dan udara di belakang rumah kami menjadi berbeda karenanya. Suatu kali aku pergi mengunjungi sisa-sisa pohon itu dan menghitung lingkaran tahunnya. Ternyata pohon itu telah berada di lingkungan kami selama sembilan tahun. Rasanya begitu menakjubkan jika mengingat bahwa dalam setiap lingkaran tahunnya mengandung begitu banyak cerita dan sejarah hidup tentang orang-orang yang tinggal dekat dengannya. Dulu aku sering membayangkan jika kami duduk-duduk di bawah pohon itu, namun karena rumput-rumput tinggi membuat kami urung menuju ke sana. Setelah itu aku menyesal kenapa tidak pernah melakukannya meski untuk sekali saja. Jika ada orang bicara kepada makanannya seperti Rachael Ray, mungkin aku dan ayah adalah contoh orang-orang yang bicara pada pohon-pohon kami.
Suamiku lalu mengambil kamera dan kami membuat foto bersama di bawah pohon ketapang itu. Tapi sayang putriku belum sempat berfoto bersama ayah dan keluargaku. Aku memotretnya tepat saat ia berayun kencang di atas ayunan bersejarah keluargaku. Seperti yang pernah dilakukan ayah padaku juga saudara-saudaraku. Entah kapan itu terjadi, namun seiring aku menumbuhkan perasaan itu, keyakinan akan kesembuhan ayah menyelimuti hati dengan perasaan hangat dan memberiku harapan.
Dua minggu berlalu setelah operasi bypass ayah. Beliau masih tinggal di rumah sakit. Hari-hari berlalu dipenuhi rasa optimisme di tengah kesempatan bertahan ayah yang kecil bersama suami dan anakku yang semakin menikmati bermain di bawah pohon kesayangan kami. Ia sudah tak sabar ingin berfoto bersama ayah, tapi ku katakan padanya bahwa Ia harus menunggu sampai kakeknya sembuh. Hingga akhirnya datang hari di mana ayah ingin sekali pulang ke rumah. Kami membawanya pulang dengan hati yang menolak pikiran-pikiran menakutkan dalam kepala kami. Ia duduk di atas kursi rodanya membuat foto bersama putriku serta kami semua dua hari sebelum akhirnya kembali masuk rumah sakit dan kami tak akan pernah melihatnya lagi. Semuanya menjadi semakin menyedihkan ketika satu minggu kemudian saat kami sedang berkumpul di dalam rumah setelah memperingati tujuh hari kepergian ayah, suara-suara mesin ribut itu kembali membuat kami berlari keluar ke halaman. Dan yang terjadi adalah sekelompok orang sedang memotong-motong dengan brutal cabang-cabang pohon kenangan kami dengan kejam. Tanpa sadar mulutku menganga dengan kantung mata nanar. Putriku enam tahun, Jeena Khadijah berlari menabrakku sambil menangis tersedu-sedu. Adikku membawa sisa-sisa dari ayunan lalu menyerahkannya ke tanganku yang gemetar.
“Tidak apa sayang, itu cuma sebuah pohon”. Kataku dengan hati sakit, suaraku hampir tersedak.
“Tapi, itu pohon ibu, pohon kakek, pohon kita semua!” rengeknya keras.
Memeluk putriku erat, mengelus rambut Jeena untuk menenangkannya. Aku berusaha tidak menangis meskipun rasanya kelu sekali. Ismail mengalungkan lengannya di punggungku. Ayah pergi, pohon itu juga dan angin yang berhembus di rambutku ini rasanya berbeda. Tak lama kemudian banyak anak-anak berkumpul untuk melihat tumbangnya pohon kenangan mereka. Nampaknya mereka juga sama kecewa seperti kami.
Entah bagaimana caranya kakakku Abdi bicara dengan orang-orang itu dan akhirnya memenangkan hak atas batang-batang pohon itu. Ia membeli batang utama dimana kami tertulis nama-nama kami dan memeliturnya lalu meletakkan batang itu di dalam rumah sebagai kenang-kenangan yang tersisa dari sebuah pohon bersejarah keluarga kami. Untuk mengenang dan menghormati ayah, aku dan Jeena menanam sebuah pohon tambahan di pinggir halaman kami yang diberi nama Jeena dengan nama pohon kakek dan Jeena, tempat di atas lahan keluarga dimana orang takkan lagi bisa dengan semena-mena menebangnya dan mengindahkan penghargaan kenangan kami atasnya. Orang seringkali melupakan hal-hal kecil yang sebenarnya berdampak besar dalam kehidupan mereka juga orang lain.
Memandangi foto-foto kami bersama ayah satu-persatu lagi membuatku sadar. Aku tak pernah benar-benar kehilangan ayah. Dalam foto bisa kulihat senyum tegarnya yang bahkan tak luntur hingga hari-hari terakhir. Begitu mengagumkan. Saat melihat putriku tersenyum menatapku lekat, ku temukan jawaban asal senyum dan mata cantik yang telah dicuri Jeena untuk dirinya. Ayah hidup dalam diri putriku, yang terbaik dan terindah dari warisannya yang bisa ia turunkan padaku dalam bentuk yang paling nyata. Senyum tipis, mata besar yang sayu, dan lesung pipi itu, juga hatinya yang penuh belas kasih membuatku merasa melihat kedua orang tuaku lagi dalam sosok yang berbeda. Ini mempengaruhi hidupku hingga bertahun-tahun kemudian di mana putra-putriku memiliki setiap hal yang mereka warisi dari gen keluargaku maupun keluarga suamiku dan memberiku kebanggaan tersendiri atas hal-hal baik yang bisa mereka abdikan pada dunia. Rasanya tak ada anugerah sebesar ini dalam hidup seseorang selain memiliki apa yang menjadi kepunyaan orang-orang yang mereka cintai. Tak ada alasan untuk berkata bahwa hidupku tidak sempurna. Mencintai dan dicintai ayah telah membuatku merasa menjadi sosok yang lengkap karena ia selalu mengajarkanku untuk mencintai apa yang menjadi kekuatanku yang senantiasa membuatku merasa utuh. Ia mengajarkanku untuk percaya pada diriku sendiri dan kekuatan dari pikiranku. Ayah selalu menjadi pendengar yang baik bagiku serta pria pertama yang menerimaku apa-adanya. Pesan terakhir ayah padaku adalah saat ia berkata bahwa “Sesungguhnya kebaikan tak pernah pergi, meskipun dunia berpaling darimu atau berakhir, Tuhan tetap berada di tempatnya dan membuat hal-hal baik terus hidup. Karena Ia takkan pernah pergi maka jangan khawatirkan apapun. Selama kau tidak kehilangan Dia di hatimu, aku akan tetap berada disini”, katanya sambil menunjuk ke dadaku. Dan tangan kurus yang ku peluk didadaku itu lalu basah dengan air mata. Ayah benar, pada akhirnya pesan-pesan ayah membuatku merasa lebih hidup setiap waktu. Saat pohon-pohon tertidur, bersemi, dan memerah di Anatolia, aku mengenang sosoknya dengan senyum. Ia memang sudah tak di sini, tapi mencintai apa yang menjadi kecintaannya telah membuatku merasa mengenal ayah jauh lebih baik dari sebelum ia pergi. mtku memandang tanpa kedip selama dua menit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar