Selasa, 23 Juni 2009

THE PARK

Wanita akhir duapuluhan itu masih berhenti di sana. Menatap penuh arti pada sebuah tempat yang dulu semasa kecil ia kenal sebagai sebuah taman. Taman bermain dengan beberapa permainan jungkat-jangkit, ayunan, sepeda mini dan rumput hijau untuk diduduki. Tapi kini ia sudah tidak nampak lagi. Sebuah kafe dengan beberapa bangunan semi permanen dan tenda-tenda parasutnya berjajar-jajar memenuhi reruntuhan taman kecil miliknya. Kursi-kursi plastik warna hijau tua disusun ala kadarnya di bawah tenda-tenda bermotif putih biru dengan meja-meja kayu bundar berpotongan kasar di tengahnya untuk tiap-tiap empat kursi. Padu-padan semua hal itu sama sekali tidak bisa dibilang atraktif.
Ditempat yang dulu sebuah patung roket semen setinggi dua meter pernah ada itulah berdiri bangunan yang tampak bisa dikenali sebagai dapur si kafe. Di sisi-sisi yang mengelilingi patung roket itu dulu terdapat lantai semen dimana ayah dan ibunya sering duduk-duduk sambil memperhatikan dan menungguinya bermain. Dapur kafe itu sebenarnya lebih kelihatan bagai pos ronda ketimbang tempat di mana sang koki utama menunjukkan kebolehannya membuat sandwich isi selai dan jus apel atau mangga seadanya. Dinding kayunya yang separuh bagian ke atas dibuat saling-silang membentuk lubang-lubang tembus pandang dimana kau bisa melihat botol-botol minuman bersoda beragam warna serta toples-toples kaca bening berisi macam-macam buah-buahan dan sirup berjajar rapi di etalase-etalase kacanya yang berdebu. Lantai tanah berkarpet rumput hijau itu sekarang sudah jauh berkurang ditutupi jalan-jalan setapak menyilang ke kiri, ke kanan, ke segala arah terbuat dari semen berwarna kelabu yang permukaannya bermotif lingkaran-lingkaran tahun batang pohon.
Membathin tentang apa yang dipikirkan oleh-orang-orang sekarang. Tergelitik untuk menanyakan apakah kini masih cukup banyak anak-anak yang sebahagia dirinya dulu. Apakah masih cukup luas ruang untuk mereka bergerak, bermain, dan berlarian di tengah tingkat kepadatan penduduk yang semakin bertambah setiap hari. Tempat rekreasi dimana ayah, ibu dan anak-anak bisa menghabiskan akhir pekan atau sore bersama-sama. Terbersit pula apakah para orang tua sekarang sudah terlalu sibuk bekerja hingga terlalu lelah untuk mengajak anak-anak mereka ke taman sampai akhirnya satu kesimpulan muncul di masyarakat bahwa tidak ada taman-taman kota yang hijau dan lapang untuk keluarga berekreasi bukanlah sebuah masalah.
Egoisme berpusar dalam pikirannya. Mungkin hanya dia yang terlalu mencintai taman itu karena kenangan-kenangannya yang terlalu indah, hingga ia tak rela kalau orang-orang yang memikirkan kapitalisme semata merenggut kebahagiaannya begitu saja. Taman itu yang seharusnya bisa tetap jadi bagian dari kehidupannya juga banyak anak-anak lain, mencetak momen-momen hebat dalam hidup mereka, serta menjadi salah satu kekuatan dari perkembangan dalam hidup manusia-manusia kecil kini telah beralih fungsi menjadi sebuah tempat yang bahkan kurang layak disebut sebagai kafe.
Banyak anak-anak itu mungkin tidak perlu taman dengan water boom yang memiliki pancuran air setinggi sepuluh meter dan kolam renang luas bertingkat-tingkat yang harga tiket masuknya kurang terjangkau bagi banyak orang tua biasa. Mereka hanya butuh taman dengan lapangan rumput hijau tempat di mana bisa berlari sepuasnya tanpa perlu tersandung, pohon-pohon rindang yang membuat bayangan-bayangan teduh di atas tanah agar mereka bisa duduk di saat lelah, papan seluncur, jungkat-jangkit, atau ayunan dan kuda-kudaan sederhana beserta bangku-bangku semen agar orang tua mereka bisa duduk tenang sambil mengawasi mereka bermain. Tempat yang bisa mereka kunjungi di sore hari atau setiap akhir pekan. Rekreasi yang murah lagi menyenangkan. Bukan sebuah tempat yang hanya akan mereka jangkau saat hari libur besar seperti Hari Raya atau tahun baru saja.
Waktu terus berjalan seiring berputarnya bumi di porosnya, begitu juga dengan berbagai kejadian. Selayaknya manusia dewasa, anak-anak pun butuh penyegaran atas keseharian mereka. Taman membantu mereka membentuk pikiran serta tubuh yang sehat dan dinamis. Menghabiskan banyak waktu bersama keluarga akan mengajarkan anak-anak akan pentingnya ikatan yang kuat antar setiap anggota keluarga disamping mendekatkan diri mereka terhadap alam dan lingkungan.
Di sisi kanan taman itu dulu ada sebuah bangunan yang menyewakan sepeda untuk anak-anak. Pernah suatu hari ia minta orang tuanya meminjamkan untuknya satu dari sepeda-sepeda itu tapi karena statusnya yang disewakan maka mereka urung melakukannya. Meskipun begitu tidak lantas membuatnya kecewa karena ia masih bisa menikmati fasilitas lain yang gratis. Bermain kuda-kudaan kayu berkaki pegas terbuat dari besi yang bisa bergoyang ke depan dan ke belakang juga cukup menyenangkan. Bibirnya tersenyum mengingat bagaimana dulu ia sering berebut dengan kakak perempuannya untuk bisa menaiki salah satu kuda-kudaan yang kepalanya paling bagus.
“Aku suka taman dan sering pergi ke taman. Aku mau beli tas ini buat jalan-jalan ke taman”, katanya suatu hari pada temannya Lina sambil menunjuk ke sebuah gambar tas.
“Ngapain kamu ke sana. Kok kayaknya senang banget pergi ke taman. Kamu ngecengin paman keripik ya?” seloroh Ichand, seorang teman sekampusnya yang kebetulan juga ada di sana. Pria muda lucu yang suka bercanda itu tenggelam antara rasa kagum dan heran, akan hobby salah satu temannya yang menurutnya tidak lagi umum di kalangan para gadis jaman sekarang.
“Perasaan yang suka ke taman itu J-Lo di film Wedding Planner, itupun dia ke sana buat nonton film-film hitam putih jaman dulu atau Meg Ryan pas janji ketemuan sama Tom Hanks di film You’ve got mail,” tambah Ichand lagi dengan intonasi yang dinaikkan di akhir kalimat.
“Wah, aku pikir kamu cuma nonton Final Fantasy aja bro, bukan yang lain, apalagi drama!”
Gadis itu lalu tertawa kecil yang membuat bahunya berguncang pelan. Ia lalu fokus kembali pada gambar sebuah tas lucu berbentuk baju anak-anak berwarna putih, biru, dan merah muda yang ingin ia beli pada salah satu majalah belanja yang ditawarkan Lina temannya. Hatinya tergelak bahagia membayangkan membawa tas itu untuk jalan-jalan ke taman. Mungkin Ichand benar pikirnya. Ia bisa menaruh uang dalam tas itu untuk membeli sekantung besar keripik sambil duduk di atas lantai semen keras menunggu air mancur berhenti mengalir saat petang tiba di taman kota pada akhir pekan.
Tapi taman kota itu tidak punya lapangan rumput yang luas. Yang ada hanyalah empat buah ayunan gantung karatan yang berbahaya, dua permainan jungkat-jungkit dan satu seluncuran berlantai tanah yang kalau terinjak oleh anak-anak maka sepatu dan sandal mereka jadi kotor karenanya, apalagi saat musim hujan tiba dengan pengunjung taman membludak di segala tempat. Di taman itu juga bisa ditemukan kandang-kandang kotor hewan-hewan liar seperti beberapa jenis kera pemalu yang galak, beberapa species burung menggemaskan yang nampak depresi dan sejenis reptil berwajah terintimidasi yang tidak berbahaya bila berada dalam kandang.
Bukan, bukan masalah kalau kadang-kadang kera-kera itu jadi berbahaya karena bisa dengan tiba-tiba menjambak rambutmu dari balik jeruji saat kau berada terlalu dekat dengannya untuk melempar pisang dan kacang-kacangan, lalu sedikit mencakar lenganmu ketika kau berusaha menyelamatkan diri, atau ketika burung-burung itu menjerit-jerit histeris memekakkan telinga, frustasi akan sempitnya privasi yang diberikan manusia pada mereka atau juga pada saat sang reptil bergerak-gerak gelisah dalam kandangnya. Yang menjadi masalah adalah ketika kita menjadi berbahaya bagi hewan-hewan malang itu karena telah dengan sengaja atau tidak menjadikan mereka sebagai objek olok-olok alih-alih sebagai buah dari kekaguman kita terhadap ciptaan Tuhan yang patut kita selamatkan, dengan memberi mereka tempat yang lebih layak dari sekedar kebun binatang ala kadarnya pada pojok-pojok taman kota. Hewan-hewan itu sudahlah jadi makhluk malang terabaikan tanpa ditambah minimnya kepedulian tulus dari tiap-tiap mata yang memandang dan keinginan kita untuk melestarikan mereka. Satu-satunya tempat lumayan bersih menyenangkan hanyalah taman air mancur kecil itu yang hanya menyala selama sore hari hingga sebelum adzan magrib berkumandang.
Jika pergi ke taman ia mampu melupakan masalah-masalah yang datang dalam hidupnya. Pergi ke taman menjaganya tetap bahagia dan memberinya kekuatan akan kehidupan juga salah satu cara membantu sisi psikologisnya tetap berjalan dengan seimbang. Taman membantu membentuk dirinya yang sekarang. Kebahagiaan dan kenangan akan taman menguatkan hubungan antara ia dan kedua orang tua juga saudara-saudaranya, mengobati banyak luka hati, serta mengajarkannya arti mencintai sebuah peradaban baik dari sisi manusia maupun alam. Sebelum menginjak usia duapuluhan ia tak pernah tahu jawaban dari pertanyaan seorang Ichand tentang kenapa ia suka sekali pergi ke taman kota dan begitu mencintainya. Baru disadari bahwa kebiasaan itu muncul akibat orang tuanya yang dulu sering mengajaknya ke taman. Mereka menanamkan padanya pentingnya mencintai alam, keluarga, dan kehidupan. Taman begitu berarti baginya.
Pulang ke rumah dan menceritakan pada ayahnya bahwa taman kota yang ada sekarang terlalu padat bagi wadah berkumpul semua orang. Nampaknya semua pengunjung jadi kurang leluasa bergerak dan menikmati rekreasi mereka. Berkesimpulan bahwa seharusnya ada lebih banyak taman-taman kota yang bisa jadi arena bermain, rekreasi sekaligus pendidikan bagi anak-anak dan keluarga. Jika kita peduli kita bisa memberi pilihan yang lebih baik kepada warga kota.
“Dulu bapak sama ibu sering mengajak kamu, mbak, dede ke taman yang ada di sebelah kantor polantas”, kata ayahnya bernostalgia.
Kemudian ia bercerita tentang taman bermain itu yang sekarang lahannya sudah dijadikan kafe tenda. Ayahnya berkomentar bahwa kini semakin berkurang kesadaran dari banyak kalangan untuk menyediakan tempat yang lebih luas dan baik bagi anak-anak bermain sekaligus belajar serta ruang hijau di tengah kota yang bertambah padat mengacu kepada isu pemanasan global.
“Sepertinya masih ada yang tersisa”, ujarnya pada bapak. “Ternyata tanaman bougenville berbunga merah yang dulu ada di bagian depan taman sebelah polantas itu pak, masih tumbuh. Padahal sudah duapuluh tahunan. Tanaman itu kuat sekali ya? Hebat”.
Senyumnya mengembang setelah menyelesaikan kata-kata terakhirnya. Sedikit banyak ia merasa bahagia bahwa setidaknya masih ada yang tersisa dari taman kecil cantik kesayangannya. Dalam hati berharap tidak hanya tanaman dan pohon-pohon saja yang mampu bertahan ditempa zaman tapi juga tanah-tanah lapang tempat anak-anak bermain dan berlarian. Ia ingin orang lain peduli tentang pentingnya memberi ruang bermain dan berekreasi yang sehat kepada anak-anak. Tempat di mana mereka belajar tentang arti persahabatan dan keluarga juga menghargai arti dari keberadaan sebuah kehidupan.


***

Kamis, 11 Juni 2009

Sahabat Dede, Danan.

Danan namanya. Anak SD berumur sebelas tahun dengan kulit putih, bibir merah tebal yang selalu basah, hidung mancung besar, dan mata bulat berair. Badannya gempal, wajahnya bulat lucu, serasi benar dengan rambut tebal berombak agak kecoklatan yang menghias kepalanya. Penampilannya jauh sekali bila dibandingkan dengan Dede sahabat yang dekat di hatinya yang berfigur kurus tinggi, kulit coklat tua, dan rambut lurus kaku mengikuti gravitasi bumi.
Setiap hari bila berangkat sekolah ia akan lewat depan rumah Dede dengan menaiki sepeda BMX tua milik kakaknya yang diwariskan padanya dengan penuh rasa bangga. Mengayuh lamban sepeda yang pedalnya terlihat lebih panjang dari kaki Danan yang pendek gempal, sehingga ia harus sedikit susah payah menginjaknya. Lucu sekali melihat Danan menaiki sepeda yang memang lebih besar dari badannya layak orang yang memakai pakaian serba terlalu kecil dari ukuran tubuh mereka. Begitu juga ketika ia berusaha berhenti di depan rumah untuk menjemput Dede sebelum berangkat bersama-sama.
Dede punya tiga sahabat kental yang dekat dengannya. Orang kedua dan ketiga masing-masing adalah Upik yang secara fisik paling mirip dengannya dari mata hingga gigi kecuali rambut berombak dan kulitnya yang sedikit lebih coklat muda. Upik juga punya badan yang lebih berisi daripada Dede juga sifat paling lembut dari tiga temannya yang lain. Yang terakhir bernama Samsul. Badannya paling besar dan tegap diantara mereka berempat. Ia bahkan lebih terlihat seperti anak kelas 3 SMP daripada anak kelas enam SD. Wajah Samsul bisa dibilang tampan meskipun kulitnya berwarna coklat kusam dan pakaiannya sering terlihat paling lusuh oleh lumpur sawah dan getah pohon nira. Dan satu hal yang dapat dipelajari darinya, bahwa bila seseorang sudah berbakat punya wajah yang enak dipandang mata, memakai apapun mereka, wajahnya masih akan tetap terlihat bagus. Bahkan bagi seorang anak kampung seperti Samsul. Tak ayal lagi diantara mereka berempat Samsul jadi favorit para gadis di sekolah. Tapi Dede paling disiplin dan tegas karenanya ia terpilih menjadi ketua kelas biarpun badannya paling kurus.
Danan, Dede, Upik, dan Samsul seperti si Bolang cs. Mereka sudah bersama hampir selama enam tahun terakhir. Itupun belum dihitung dengan masa-masa di taman kanak-kanak. Rupanya masa-masa aktif Dede lebih banyak dia habiskan bersama sahabat-sahabatnya daripada dengan orang rumah. Kemana-mana selalu bersama, sekolah, bermain, sampai petualangan di sawah, mencari cacing, memancing, memetik jeruk di kebun keluarga Danan yang jauh di hutan belakang kampungnya dan macam-macam lagi. Bila tidak kemana-mana biasanya mereka suka bermain gundu atau kartu bergambar di depan rumah si Upik yang tanahnya keras dan rata. Atau bisa juga menghabiskan sore di rumah Samsul sambil memperhatikan anak itu membelah kayu bakar sementara ibunya mengaduk-aduk adonan gula aren di halaman. Dan kalau mereka beruntung bisa ngobrol dengan adik Samsul yang berada di kelas empat. Aida namanya, gadis manis berhidung mancung kecil, mata belo, rambut ikal mayang yang kulitnya sawo matang. Dia bagaikan sepotong kayu manis kualitas ekspor yang punya karakter kuat baik fisik ataupun sifat. Meskipun masih kecil, gadis itu sudah memiliki kepribadian kuat karena tempaan kehidupan.
Dede dan Upik bisa dibilang yang paling sedikit pengalamannya dengan alam dibandingkan Samsul dan Danan. Maklum saja karena mereka berdua tinggal di komplek perumahan perusahaan swasta sedangkan Samsul dan Danan tinggal di perkampungan setempat. Rumah Samsul tepat di perbatasan antara kampung dan komplek sebelah selatan. Danan tinggalnya paling jauh karena kampungnya berada di sebelah timur komplek. Seringnya untuk menuju ke rumah Danan mereka harus melewati areal perladangan dan persawahan yang cukup luas. Namun perbedaan jarak di antara mereka urung membuat anak-anak itu malas saling mengunjungi. Sekolah dasar yang cuma ada satu-satunya rupanya menjadi berkah sekaligus pengikat bagi para bolang itu.
Musim ujian nasional sudah tiba. Dede beserta teman-teman petualangnya sekarang banyak menghabiskan sore mereka kembali ke sekolahan untuk mengikuti les-les tambahan. Tapi ada satu hal yang janggal sekarang. Dengan semakin dekatnya bulan ujian maka Danan semakin jarang ke sekolah. Ia pun hampir tidak mengikuti les sama sekali. Ketiga sahabatnya dibikin bingung dengan sikapnya. Ada kala mereka mencari Danan ke rumahnya selepas waktu ashar tapi ia tidak ada. Mau tanya orang tuanya juga tidak bisa karena mereka sibuk menyawah dan meladang maka jarang dirumah kecuali petang tiba. Alhasil mereka pulang dengan tangan kosong.
"Muhammad Adenansi", panggil ibu Chici, wali kelas mereka yang mengajar pelajaran Bahasa Indonesia.
"Absen Bu!" jawab Dede si ketua kelas.
"Kenapa lagi De?" tanya beliau
"Kurang tahu Bu. Gak ada pesan, gak ngirim surat", jawab Dede tegas.
Bu guru Chici pun menggeleng pelan. Beberapa spekulasi berkelebat di benaknya tentang kelakuan murid gempalnya itu akhir-akhir ini. Ujian nasional sudah tinggal sebulan lagi. Danan absen semakin sering. Pertanyaan terakhirnya setelah bel tanda istirahat pada anak itu tentang kenapa tiga hari berturut-turut tidak masuk sekolah minggu lalu sama sekali tidak dijawab. Danan malah menjawab dengan kata "Sakit bu!" yang pendek atau cuma lewat seringai kekanakannya lantas berlari menyusul ketiga temannya yang sudah antri untuk membeli es potong. Saat ia dititipi surat panggilan untuk orang tuanya mereka tidak bisa datang. Danan beralasan bahwa surat itu sudah disampaikan tapi orang tuanya sibuk di sawah karena musim panen sudah dekat. Ada kala ia pernah mengunjungi sendiri orangtua muridnya itu tapi mereka malah menggelengkan kepala seperti pasrah terhadap anak bungsunya. Kedua orangtua itu bilang kalau Danan sangat keras kepala dan bilang mau berhenti saja sekolah karena ia sudah tergila-gila memancing. Minggu ini sudah tiga hari sejak Senin dan Selasa ia tidak masuk lagi. Kesibukannya mempersiapkan bulan-bulan ujian sekaligus ulangan kelas membuat ibu guru di sekolah kecil yang serba kekurangan ini sedikit lalai untuk lebih memperhatikan seorang Danan. Kini ia harus melakukan tindakan tegas terhadap Danan yang suka libur sendiri berselang hari yang sudah dua minggu lebih itu. Maka saat bel istirahat berbunyi pagi itu ibu Chici memanggil Dede si ketua kelas beserta dua kroninya yang lain. Ia meminta mereka menemui Danan sekali lagi. Ia pikir jika ia dan orangtuanya sudah tidak berhasil maka sahabat-sahabatnya pasti bisa membujuknya.
Rabu sore yang cerah dengan banyaknya sinar matahari menghujani mereka serta derasnya angin sawah, Dede, Upik, dan Samsul melakukan perjalanan melewati ladang dan pematang persawahan yang ranum berwarna keemasan menuju rumah Danan. Besar harapan di hati mereka kali ini bisa bertemu Danan. Samsul bahkan rela mengorbankan waktu untuk membantu ayahnya menurunkan nira demi menemui sahabatnya. Nyanyian sumbang Upik serta ayunan tongkat ranting pohon di tangan Dede menandakan keberangkatan perjalanan mereka diiringi hati yang gembira.
Saat jalanan setapak semakin melebar dan pepohonan bertambah rapat mereka telah sampai di batas kampung Danan. Di kampung ini hanya terdapat beberapa belas rumah dan terletak di pinggir sebuah sungai kecil. Tidak seperti kampung Samsul yang berada tepat di sepanjang aliran sungai besar yang mencakup puluhan rumah. Tanah gembur lunak berwarna hitam menyambut ramah langkah-langkah kaki penuh jihad mereka untuk mengembalikan sahabat yang gempal itu agar menuntut ilmu di sekolah. Upik melirik pada jam tangan plastik warna merah kebanggaannya yang menunjukkan pukul empat lewat lima menit. Ibu Danan pernah berkata bahwa anaknya akhir-akhir ini suka sekali memancing sejak pagi hingga siang dan kembali lagi mengail setelah shalat ashar. Nah, mereka berpikir harus mencegatnya lebih dulu sebelum ia berangkat.
Tepat saat Danan mulai mengenakan sandal jepit butut dan memanggul pancing di pungung, Dede, Upik, dan Samsul memergokinya. Mulut Danan mengeluarkan suara "Ahh…" panjang yang sulit dipahami sebagai arti "kena deh aku" atau "wah kebetulan, ayo mancing bareng". Tawa khas menghiasi wajah si gempal itu. Mata bulatnya berbinar dan bibir merah tebalnya basah oleh air liur karena sekarang mereka bisa melihat lagi kebiasaannya bicara sambil tertawa yang juga memperlihatkan dua gigi kelinci besar-besar yang agak bertumpuk. Samsul menepuk punggung sahabatnya keras sementara Dede merangkul bahu yang satu.
"Mancing terus neh?" kata Samsul.
"Iya. "ggak ngajak-ngajak", kata Dede.
"Ayolah! Kami ikut ya?" tanya Upik sedikit memaksa.
Apa daya Danan tak dapat menolaknya. Ia mengajak mereka ke pinggiran kampung yang berbatasan dengan persawahan di mana ia suka menghabiskan waktunya hampir seharian di tempat itu untuk memancing. Meskipun sudah musim panas dan burung-burung belibis beserta anak-anak mereka bersembunyi untuk sementara ini karena sedang musim dangkal, tapi air di rawa-rawa yang menghubungkan kampung-kampung mereka tidak pernah sampai kering. Jika kau memancing maka masih bisa menemui belut-belut dibalik lumpur juga ikan-ikan gabus, sepat, lais, dan anak-anaknya lalu lalang tanpa rambu-rambu lalu lintas yang pasti. Bergerak-gerak harmonis mengikuti irama dalam air. Sementara kau terhanyut dengan gerakan ikan juga kail pancingmu sendiri, angin sepoi lembut masuk lewat sela-sela rambut dan kerah baju. Kali ini pohon kasturi besar rimbun yang menyebarkan wangi khas dari kayu dan daunnya menaungi mereka. Danan mengajak Dede, Upik, dan Samsul duduk di sebuah batang pohon besar yang tumbang di pinggir rawa sebelum melemparkan mata kailnya jauh-jauh. Dede mencelupkan kedua kakinya ke air yang dingin lalu bergidik geli. Upik dengan tenang mengamati sekitarnya hingga seberkas cahaya atap seng sekolah tua mereka yang tertimpa sinar mentari berkilau di kejauhan. Akhirnya ia jadi ingat tujuan mereka.
"Dan, kenapa ‘ggak sekolah lagi. Bolos terus?" kata Upik dengan masih menatap ke atap sekolah.
"Iya, kalo lewat belakang kampungmu sini terus jalan di atas pematang kan cuma jalan sekiloan lebih dikit lah", kata Dede. "Itu atapnya aja keliatan ujungnya", tunjuknya semangat.
"Males ah!" jawab Danan pendek dengan sedikit rasa bersalah.
"Sebentar lagi ujian loh! Kan sayang kalo ‘ggak diterusin Dan…", kata Samsul sambil merangkul Danan.
"‘Ggak ah, enakan di sini. Capek belajar", tukas Danan dengan mata menerawang pada pemandangan cantik di sekelilingnya.
"Ya ampun Dan, tinggal sedikit lagi kok. Masa segitu aja nyerah. Payah," komentar Dede.
Hati Danan seperti tersengat mendengar kata-kata para sahabatnya. "Aku lebih suka mancing, titik!" katanya polos lalu berdiri dan berjalan memeriksa lukah yang ia pasang di balik rumput rawa. Wajahnya diliputi cemberut penuh raut kekanak kanakan.
"Benar berarti yang mamak kamu bilang kalo kamu keranjingan mancing sampai lupa sekolah", kata Samsul. Sekarang ia sudah berdiri tegap di sebelah Danan yang membungkuk menghadapi lukahnya yang kosong. Kedua tangannya mengacak pinggang tanda kejengkelan.
"Katanya kamu mau sama-sama aku sekolah di madrasah Al Husaini. Ya udah, kalo gitu aku pergi sekolahnya bareng Samsul aja", bohong Upik.
Wajah Dede diliputi sedikit keanehan saat mendengar kata-kata Upik. Kakinya berhenti bermain-main di air. Ia tahu persis kalau Samsul akan sekolah di SMP terbuka sore hari alih-alih sekolah di madrasah. Keluarga Samsul tidak akan sanggup menyekolahkannya ke madrasah kecil lokal sekalipun karena masih harus menanggung beban delapan saudaranya yang lain, juga karena ia harus membantu orangtuanya di pagi hari. Mata Samsul bertatapan agak nanar dengan mata Upik sebelum akhirnya menelan ludahnya sendiri dengan pahit dan berkata dengan suara sedikit tercekat.
"Iya! Nanti aku naik sepeda berangkat sama-sama Upik sekolah sore di madrasah. Pamanku udah ngasih aku sepeda buat sekolah. Dede juga ‘ggak bisa lagi nemenin kamu main soalnya dia mau dikirim orangtuanya sekolah ke pesantren yang jauh dari sini", ujar Samsul perih.
"Sepeda kamu yang mana? Yang jelek terus rantainya putus karatan itu, dikasih paman kamu", kata Danan ketus. Sekarang hatinya diliputi kecemasan.
Wajah Samsul tiba-tiba nampak letih sendiri. Sementara du sahabat lainnya diliputi kengerian luar biasa. Keadaan sunyi sekejap kemudian di antara mereka. Alam diam-diam meresapi sengitnya pertempuran kata-kata ini. Hanya bunyi blup-blup dan kecipak kecil air oleh gerakan ikan lewat yang terdengar. Hening bunyi kecipak ikan yang menjauh ketakutan lalu digantikan gemerisik daun-daun rumput rawa yang digoyangkan angin deras dan menjadi latar empat sahabat yang mematung dalam posisi mereka masing-masing hingga rambut-rambut mereka diterbangkan angin. Seekor bangau menyaksikan lewat kaki putih panjangnya yang bertengger di atas ranting pohong yang terhanyut air dari kejauhan, membisu. Hanya seekor katak muda cuek yang melompat menyanyikan nada-nada gembiranya persis dibawah kaki Dede dan membuat keruh air. Sekeruh diamnya para sahabat ini hingga bening warna biru langit dan hijau bukit yang bercampur kuning dan kemerahannya daun-daun pohon yang menjadi landscape mereka seakan tanpa arti.
"Bener De kamu jadi mau sekolah ke pesantren yang di luar itu?" suara lirih Danan akhirnya memecah kesunyian. Hati anak berumur sebelas tahun itu sedikit terpukul. Danan merasa ia lebih dekat dengannya dari yang lain meskipun Dede sendiri merasa lebih lekat dengan Upik.
"Iya!" jawab Dede pendek. Takut jawaban panjang akan melukai hati sahabatnya itu lebih dalam.
"Ayo pulang!" kata Samsul agak sakit hati lalu melangkah cepat diikuti Dede dan Upik, mengacuhkan keinginan hati yang masih ingin duduk sejenak menikmati alam indah ini, meninggalkan Danan yang masih memegangi lukah kosongnya dengan mata menatap tanpa makna ke air tembus pandang tempat kakinya terendam. Hati kecil Danan diisi penuh dengan kesunyian dan ketakutan akan kehilangan teman-teman terbaik.
Pagi ini Dede sudah mengenakan sepatu hitamnya yang disemir bersih oleh ibu. Tas ransel juga penuh buku berisi PR yang sudah dikerjakan. Jam tangan hitamnya menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit yang artinya ia harus segera berangkat sekolah. Kali ini untuk yang ke sekian kalinya atau bahkan untuk yang terakhir kalinya tanpa suara panggilan Danan di halaman. Setelah mencium tangan ibu, Dede berlari tergesa dengan memakai sepatunya di dalam rumah karena ia sudah terlambat lima menit untuk berangkat. Kakak perempuannya yang sedang meminum susu mengernyit menyaksikan pemandangan itu.
"Ibu, Dede berangkat. Assallamualaikum!" teriaknya sembari menuruni teras depan rumah.
Di pinggir jalan seseorang sudah menunggunya dari atas sepeda butut tua, seseorang yang berbadan gempal. Bibir basah khasnya mengembangkan tawa kecil jenaka tanpa ragu. Keningnya di basahi keringat penuh semangat sebab mengayuh sepeda. Serta-merta Dede naik ke atas boncengan sepeda seperti yang biasa ia lakukan. Sahabatnya ini begitu bangga dengan sepeda tuanya sehingga Dede tak punya alasan untuk mencegah Danan yang memboncengnya. Jalan tanah penuh kerikil di komplek bergemeretak menahan beban mereka. Hari ini ibu Chici gembira melihat empat sahabat duduk bersama lagi. Persahabatan anak-anak memang tulus dan murni. Pertentangan mereka umumnya tak pernah bertahan lebih dari dua hari bahkan menit. Hari ini juga Danan memuji sepeda tua baru milik Samsul yang dibawanya ke sekolah dan sudah dicatkan warna biru oleh ayah Dede. Jam-jam istirahat mereka dipenuhi riang tawa dan antri membeli es potong lagi sekarang, mereka tidak pernah tahu bahwa saat-saat seperti itulah yang di masa mendatang akan membuat mereka masih saling merindukan dan mencari sembilan tahun kemudian meskipun sudah terpisah jarak, waktu, tempat, dan nasib.

Senin, 08 Juni 2009






The Tree (Pohon)

Mataku memandang tak berkedip pada monitor yang memberitahu denyut jantung ayah. Begitu lemah, selemah alunan naik turun dadanya. Tanganku memeluk bahu tangannya yang kurus pucat tak berdaya sementara ia tertidur dan bayangannya semakin mengabur di mataku. Sebuah tangan yang kuat menyentuh bahuku lembut membuat mulutku mengeluarkan napas yang tertahan sesak di dada. Itu suamiku yang datang, bersama dengan putri kami yang sedang tertidur pulas di gendongannya. Beberapa minggu berpisah di saat-saat seperti ini membuatku begitu merindukan mereka. Aku berdiri lalu menyandarkan kepalaku di dadanya dan ia memelukku hangat dengan satu tangan. Mataku yang mengabur menyisakan dua buah tanda air pada jas perjalanannya. Aku berusaha keras untuk tidak meraung saat itu juga.
Malam ini saudara-saudaraku yang lain akan menggantikanku untuk menjaga ayah. Hatiku begitu berat, aku tak ingin pergi sementara tidak tahu apa yang bisa terjadi.
“Semuanya akan baik-baik saja”, kata abangku dan ku harap ia benar.
Semoga jantung ayah akan bertahan sekali lagi malam ini bathinku saat menyentuh bahu adikku untuk mengucapkan selamat malam sebelum pulang yang ia balas dengan tatapan mata tenang. Aku selalu iri dengannya yang selalu bisa menyembunyikan dengan baik perasaannya. Bahkan saat ibuku pergi dan kami semua diliputi dengan rundungan duka, adikku menampakkan wajah tenang paling menyakitkan yang pernah ku lihat. Orang bilang yang seperti inilah yang justru menyimpan sakit paling dalam. Perasaannya pasti tidak jauh berbeda dengan yang kami rasakan, namun saat itu aku muak melihatnya nampak tegar. Berpaling sekali lagi sebelum meninggalkan ruangan dengan si kecil yang kini di lenganku. Rasanya tenang mengetahui ada seseorang yang kau cintai yang bisa dipeluk ketika hatimu sedang kalut.
Kami sampai di rumah keluargaku dan malah ku biarkan ayah dari seorang putri ini yang membuatkanku kopi meskipun ia baru datang dari Turki. Butuh sedikit lama baginya mencari-cari posisi tempat kopi dan gula karena aku sama sekali tak berniat bicara. Ia lalu duduk termenung setelah meletakkan cangkir kopi di hadapanku sambil memandang istrinya yang kusut masai. Tak berucap sepatah katapun semenjak kami bertemu di rumah sakit hingga akhirnya kami duduk di meja makan pada dapur yang sepi hingga berjam-jam kemudian. Ini adalah serangan kedua terhadap jantung ayah setelah serangan terakhir terjadi awal tahun kira-kira delapan bulan yang lalu. Dokter bilang kondisinya sangat kritis sampai-sampai aku tak ingin mendengar atau mengingat kata-kata itu. Kini mataku menerawang memandang dapur yang aku dan ayah mulai renovasi bersama setahun sebelum aku menikah. Persis sekali seperti dapur idaman yang selalu aku inginkan. Bernuansa kayu dari dinding hingga furniturnya. Menimbulkan kesan hangat bagi siapapun yang pernah masuk ke dapur ini. Saat aku dan suamiku menikah, kami menanggung semua biaya pernikahan sendiri. Aku selalu menginginkan pernikahan yang melegakan semua orang. Karena itu kami berdua menyiapkan pernikahan ini cukup lama di samping karena pekerjaan yang banyak menyita waktu. Keluarga di kedua belah pihak sama sekali tidak mengeluarkan biaya sepeserpun. Pernikahan kami dilakukan sederhana dengan undangan kerabat dan teman-teman dekat. Ayah tahu aku selalu memimpikan memiliki dapur indah di rumah maka ia menjadikan renovasi dapur ini sebagai hadiah pernikahan sebagai ganti biaya yang tidak ia keluarkan untukku meskipun pada akhirnya aku hanya bisa melihat dapur ini sesekali saat aku kembali. Renovasinya selesai tepat dua minggu sebelum hari H. Di hari-hari biasa hanya ada sebuah meja makan kecil bundar dengan empat kursi disini. Hingga waktunya kami berkumpul saat hari raya, buka puasa, reuni keluarga, ataupun sekedar makan bersama maka di keluarkan sebuah meja panjang dengan lebih dari duabelas kursi untuk menampung jumlah anggota keluarga kami yang semakin membesar dari waktu ke waktu. Cengkraman hangat tangan Ismail di punggung tanganku membuatku tengadah. Suamiku yang tenang ini kemudian menggeser kursinya semakin dekat kepadaku sebelum memeluk sekali lagi. Dan tak ingin membangunkan putri kami, aku menangis pelan menumpahkan kesedihan. Bersyukur ia menguatkanku tanpa bicara sedikitpun.
Malam itu aku tidur sembari memeluk erat Jeena. Adikku datang paginya dengan kabar yang sedikit menenangkan saat aku sedang membuatkan sarapan untuk keluarga kecilku. Berkata bahwa ada sedikit kemajuan dengan perkembangan kondisi ayah yang berarti operasi untuk menyelamatkan hidupnya akan dapat semakin cepat dilakukan.
“Kamu tidak perlu kesana dulu siang ini”, tambahnya. “Terlalu banyak yang menunggu membuat sesak ruangan. Lagipula kamu butuh istirahat dan menemani mereka berdua yang sudah jauh-jauh datang”.
Jadilah kami bertiga duduk-duduk di depan rumah yang rindang dengan berbagai pohon buah yang ditanam ayah. Sebuah pohon menarik perhatian kami di tanah seberang halaman rumah yang tak berpagar. Pohon itu besar dan rindang, letaknya dekat tikungan jalan. Ada sebuah ayunan tergantung di dahannya dan bangku kayu sederhana tempat kami sering menghabiskan waktu-waktu berkualitas kami bersama ayah di bawahnya. Di hari-hari yang begitu panas, makan buah bersama, minum limun, bercanda, mengobrol dan curhat tentang apa saja, bermain, hingga menuliskan nama-nama kami di batangnya. Pohon ketapang tua yang kenangannya tumbuh bersama kami dan ku harap tumbuh bersama putriku juga. Bahkan sampai sekarang anak-anak sekitar juga sering bermain di bawahnya. Ia pasti juga punya arti bagi mereka. Pohon itu begitu gagah, berdiri tegak sekaligus anggun dengan cabang-cabang kuat ke segala arah selayaknya tangan-tangan perkasa yang akan menjaga kami setiap saat. Daun-daunnya yang lebar sering dijadikan anak-anak topi-topian, berwarna hijau di musim hujan dan oranye kemerahan di musim panas. Bertahun-tahun pohon itu menjadi bayangan imaginasiku tentang warna musim gugur di negara empat musim yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Indah sekali. Bahkan saat musim gugur datang di Anatolia sekalipun pikiranku dipenuhi oleh bayangan pohon ini. Mungkin karena ia mengingatkanku pada sosok kuat dan tegar ayah, mungkin juga aku menganggapnya sebagai manifestasi ayah. Pada pohon ku lihat sifat melindungi dan menenangkan seperti yang selalu ayah lakukan pada keluarganya. Kedengarannya terlalu romantis, tapi begitulah adanya. Putriku menunjukkan lesung pipi cantiknya saat ia mendengarkan penuh antusiasme pada ceritaku. Ia persis sekali seperti ibu dengan satu lesung pipi di sebelah kiri, gigi kecil-kecil, dan rambut bergelombang. Hanya saja ia berkulit putih dan mata besar yang tak biasa bagi seorang gadis indo yang tak mirip ayahnya. Sering aku menatap gadis kecilku lekat saat ia tertawa hanya untuk mengenal senyum manis siapa yang telah ia curi ini.
Ia dan suamiku tersenyum penuh kerinduan saat aku bercerita tentang satu pohon petai china di belakang rumah kami yang dulu sering aku ajak bicara dan kini sudah tidak ada. Saat kuliah aku tinggal jauh dari rumah dan hanya pulang dua minggu sekali. Suatu hari aku memeluk pohon itu sambil berkata kapan aku akan bertemu dengannya lagi karena dua minggu terasa begitu lama untukku meninggalkan rumah. Namun dua minggu kemudian saat aku pulang, aku tidak menemuinya berdiri menjulang di belakang rumah. Aku bertanya pada ibuku tentang apa yang terjadi. Ibuku berkata bahwa seminggu lalu saat hujan deras hebat datang, pohon itu disambar petir dan tumbang. Aku kehilangan salah satu sahabat terbaik yang telah bersamaku selama sepuluh tahun. Harus ku katakan bahwa terkadang aku bicara pada pohon itu dengan hati yang aku yakin ia bisa mendengarnya. Kini ku katakan pada putriku, bahwa ibunya ini mencintai segala hal yang berkaitan dengan setiap kenangan indah masa kecilnya. Aku menunjukkan padanya foto-foto kami sekeluarga bersama pohon itu. Saat aku dan saudara-saudaraku masih anak-anak, remaja, hingga dewasa. Ada pula foto-foto para keponakanku dan beberapa sepupu. Ayah menanam banyak pohon termasuk pohon ketapang itu untuk menaungi jalan sekaligus mengurangi erosi karena rumah kami terletak di bukit kecil yang tanahnya miring, hingga saat hujan datang, ia sering membawa tanah bersama aliran airnya. Ayahku begitu mencintai tanaman terutama pohon dan syukurnya ia menularkan hal ini pada anak-anaknya.
Pernah suatu hari ada sekelompok orang datang lalu menebangi beberapa pohon akasia besar yang letaknya di atas lahan milik orang lain di belakang rumah kami dengan gergaji mesin besar yang ribut. Ayah memandangi aksi itu tanpa henti dengan menggeleng-gelengkan kepala. Ia terus bertanya-tanya tak percaya.
“Kenapa orang-orang itu suka sekali menebang pohon di tempat di mana sudah jarang pohon? Perlu bertahun-tahun bagi pohon-pohon itu untuk tumbuh besar dan rindang. Sayang sekali ada orang yang tidak suka kehijauan dan juga pohon. Sayang sekali mereka bersikap seperti itu kepada alam. Sayang sekali”, komentar ayah waktu itu.
Aku berpikir mungkin si pemilik tanah yang menyuruh mereka melakukannya, tapi ayah berkata bahwa menurut tetangga kami orang-orang itu memang menebang pohon-pohon di lahan-lahan kosong seperti yang mereka kerjakan di dekat lahan pertaniannya. Ayah, aku, dan adik laki-lakiku sedih melihat pohon itu pergi dan berakhir di atas truk pengangkutan. Aku dan ayah nanar mengantarkannya menjauh saat truk itu melewati depan rumah kami. Sejak hari itu langit, awan, tanah, dan udara di belakang rumah kami menjadi berbeda karenanya. Suatu kali aku pergi mengunjungi sisa-sisa pohon itu dan menghitung lingkaran tahunnya. Ternyata pohon itu telah berada di lingkungan kami selama sembilan tahun. Rasanya begitu menakjubkan jika mengingat bahwa dalam setiap lingkaran tahunnya mengandung begitu banyak cerita dan sejarah hidup tentang orang-orang yang tinggal dekat dengannya. Dulu aku sering membayangkan jika kami duduk-duduk di bawah pohon itu, namun karena rumput-rumput tinggi membuat kami urung menuju ke sana. Setelah itu aku menyesal kenapa tidak pernah melakukannya meski untuk sekali saja. Jika ada orang bicara kepada makanannya seperti Rachael Ray, mungkin aku dan ayah adalah contoh orang-orang yang bicara pada pohon-pohon kami.
Suamiku lalu mengambil kamera dan kami membuat foto bersama di bawah pohon ketapang itu. Tapi sayang putriku belum sempat berfoto bersama ayah dan keluargaku. Aku memotretnya tepat saat ia berayun kencang di atas ayunan bersejarah keluargaku. Seperti yang pernah dilakukan ayah padaku juga saudara-saudaraku. Entah kapan itu terjadi, namun seiring aku menumbuhkan perasaan itu, keyakinan akan kesembuhan ayah menyelimuti hati dengan perasaan hangat dan memberiku harapan.
Dua minggu berlalu setelah operasi bypass ayah. Beliau masih tinggal di rumah sakit. Hari-hari berlalu dipenuhi rasa optimisme di tengah kesempatan bertahan ayah yang kecil bersama suami dan anakku yang semakin menikmati bermain di bawah pohon kesayangan kami. Ia sudah tak sabar ingin berfoto bersama ayah, tapi ku katakan padanya bahwa Ia harus menunggu sampai kakeknya sembuh. Hingga akhirnya datang hari di mana ayah ingin sekali pulang ke rumah. Kami membawanya pulang dengan hati yang menolak pikiran-pikiran menakutkan dalam kepala kami. Ia duduk di atas kursi rodanya membuat foto bersama putriku serta kami semua dua hari sebelum akhirnya kembali masuk rumah sakit dan kami tak akan pernah melihatnya lagi. Semuanya menjadi semakin menyedihkan ketika satu minggu kemudian saat kami sedang berkumpul di dalam rumah setelah memperingati tujuh hari kepergian ayah, suara-suara mesin ribut itu kembali membuat kami berlari keluar ke halaman. Dan yang terjadi adalah sekelompok orang sedang memotong-motong dengan brutal cabang-cabang pohon kenangan kami dengan kejam. Tanpa sadar mulutku menganga dengan kantung mata nanar. Putriku enam tahun, Jeena Khadijah berlari menabrakku sambil menangis tersedu-sedu. Adikku membawa sisa-sisa dari ayunan lalu menyerahkannya ke tanganku yang gemetar.
“Tidak apa sayang, itu cuma sebuah pohon”. Kataku dengan hati sakit, suaraku hampir tersedak.
“Tapi, itu pohon ibu, pohon kakek, pohon kita semua!” rengeknya keras.
Memeluk putriku erat, mengelus rambut Jeena untuk menenangkannya. Aku berusaha tidak menangis meskipun rasanya kelu sekali. Ismail mengalungkan lengannya di punggungku. Ayah pergi, pohon itu juga dan angin yang berhembus di rambutku ini rasanya berbeda. Tak lama kemudian banyak anak-anak berkumpul untuk melihat tumbangnya pohon kenangan mereka. Nampaknya mereka juga sama kecewa seperti kami.
Entah bagaimana caranya kakakku Abdi bicara dengan orang-orang itu dan akhirnya memenangkan hak atas batang-batang pohon itu. Ia membeli batang utama dimana kami tertulis nama-nama kami dan memeliturnya lalu meletakkan batang itu di dalam rumah sebagai kenang-kenangan yang tersisa dari sebuah pohon bersejarah keluarga kami. Untuk mengenang dan menghormati ayah, aku dan Jeena menanam sebuah pohon tambahan di pinggir halaman kami yang diberi nama Jeena dengan nama pohon kakek dan Jeena, tempat di atas lahan keluarga dimana orang takkan lagi bisa dengan semena-mena menebangnya dan mengindahkan penghargaan kenangan kami atasnya. Orang seringkali melupakan hal-hal kecil yang sebenarnya berdampak besar dalam kehidupan mereka juga orang lain.
Memandangi foto-foto kami bersama ayah satu-persatu lagi membuatku sadar. Aku tak pernah benar-benar kehilangan ayah. Dalam foto bisa kulihat senyum tegarnya yang bahkan tak luntur hingga hari-hari terakhir. Begitu mengagumkan. Saat melihat putriku tersenyum menatapku lekat, ku temukan jawaban asal senyum dan mata cantik yang telah dicuri Jeena untuk dirinya. Ayah hidup dalam diri putriku, yang terbaik dan terindah dari warisannya yang bisa ia turunkan padaku dalam bentuk yang paling nyata. Senyum tipis, mata besar yang sayu, dan lesung pipi itu, juga hatinya yang penuh belas kasih membuatku merasa melihat kedua orang tuaku lagi dalam sosok yang berbeda. Ini mempengaruhi hidupku hingga bertahun-tahun kemudian di mana putra-putriku memiliki setiap hal yang mereka warisi dari gen keluargaku maupun keluarga suamiku dan memberiku kebanggaan tersendiri atas hal-hal baik yang bisa mereka abdikan pada dunia. Rasanya tak ada anugerah sebesar ini dalam hidup seseorang selain memiliki apa yang menjadi kepunyaan orang-orang yang mereka cintai. Tak ada alasan untuk berkata bahwa hidupku tidak sempurna. Mencintai dan dicintai ayah telah membuatku merasa menjadi sosok yang lengkap karena ia selalu mengajarkanku untuk mencintai apa yang menjadi kekuatanku yang senantiasa membuatku merasa utuh. Ia mengajarkanku untuk percaya pada diriku sendiri dan kekuatan dari pikiranku. Ayah selalu menjadi pendengar yang baik bagiku serta pria pertama yang menerimaku apa-adanya. Pesan terakhir ayah padaku adalah saat ia berkata bahwa “Sesungguhnya kebaikan tak pernah pergi, meskipun dunia berpaling darimu atau berakhir, Tuhan tetap berada di tempatnya dan membuat hal-hal baik terus hidup. Karena Ia takkan pernah pergi maka jangan khawatirkan apapun. Selama kau tidak kehilangan Dia di hatimu, aku akan tetap berada disini”, katanya sambil menunjuk ke dadaku. Dan tangan kurus yang ku peluk didadaku itu lalu basah dengan air mata. Ayah benar, pada akhirnya pesan-pesan ayah membuatku merasa lebih hidup setiap waktu. Saat pohon-pohon tertidur, bersemi, dan memerah di Anatolia, aku mengenang sosoknya dengan senyum. Ia memang sudah tak di sini, tapi mencintai apa yang menjadi kecintaannya telah membuatku merasa mengenal ayah jauh lebih baik dari sebelum ia pergi. mtku memandang tanpa kedip selama dua menit